Tuesday, December 20, 2022

Tentang Mbok Rampi

 Mbok Rampi

Teguh Setiwan


Purnama sengaja menjatuhkan sinarnya hingga pecah di bumi. Pantulannya berpendar menyeka tiap sela-sela sudut gelap kampung ini. Suara geriak anak-anak kecil, laki-laki dan perempuan, bermain petak umpet di halaman. Semilir angin berbisik dan mendendangkan lagu-lagu dolanan di tengah siraman cahaya surga. Lengkap sudah keceriaan malam itu. Malam laksana siang, sunyi berubah riuh celoteh anak-anak di halaman rumah nan luas. Sungguh malam yang sangat indah seakan tak ada malam yang lebih indah dari malam purnama itu.

Sayang seribu sayang keceriaan malam purnama itu tak mampu menembus dinding gelisah hati Mbok Rampi. Pikirannya kalut, hatinya semrawut, kepalanya pun cenat cenut. Hari ini hari Jumat, tetapi bukan karena hari Jumat adalah hari yang sakral kata orang, hari di mana setan-setan bergentayangan mencari teman bermain. Bukan. Sama sekali bukan itu yang membuat hati Mbok Rampi didera gundah gulana. Adalah anaknya yang menuntun ilmu di kota akan pulang besok. Itu artinya Mbok Rampi harus menyiapkan sejumlah uang untuk bekal anaknya merantau kembali ke kota.

Mbok Rampi, perempuan tengah baya beranak tujuh. Tiga anak perempuannya telah menikah dan ikut suaminya. Dua anak laki-lakinya kerja serabutan dengan gaji yang tak tentu. Anak laki-lakinya yang paling kecil ngotot ingin kuliah seperti teman-temannya. Sementara si bungsu yang paling cantik masih SMP kelas 2. Suaminya tak punya pekerjaan. Hanya kambing-kambing di belakang rumah yang ia rawat sepenuh hati sebab mereka menjadi tumpuan ketika kebutuhan hidup menghimpit dan mencekik leher keluarga Mbok Rampi. Mbok Rampi sendiri hanyalah pedagang keliling di kampungnya. Apapun ia jual. Pagi ia menjual gorengan: pisang goreng, singkong goreng, ote-ote, tahu goreng, samiler, hingga onde-onde. Semua ia buat sendiri. Mungkin Mbok Rampi telah menghitung bahwa jualan yang dibuat sendiri akan memberikan untung lebih banyak. 

Kadang di sore hari Mbok Rampi masih memaksakan tubuh ringkihnya keliling kampung sekali lagi manjual pakaian. Tak jarang pelanggan Mbok Rampi membelinya secara kredit. Bagi Mbok Rampi itu tak masalah, selama ia masih bisa memutar uangnya untuk membeli dagangan lagi.

***


Halah, Yuk Jum, ndak mungkin si Bagus, anaknya Mbok Rampi, itu kuliah di kota. Paling-paling kerja di sana jadi sales masuk kampung keluar kampung. Lihat saja kalau dia pulang badannya makin kurus dan hitam.”

Ngawur aja kamu Tik, tau darimana kamu kalau dia di kota jadi sales? Memangnya jadi sales apa?” Juminten memastikan.

Meneketehe. Sales panci mungkin … atau sales bak cuci? Kayak mas-mas yang biasa keliling di kampung kita, yang jalan sambil nabuh-nabuh baknya, katanya kuat anti pecah eh, dipakai satu bulan udah bocor ke mana-mana hahaha…”

“lagian nih ya Yuk Jum, Tik,” Atun mulai menimpali, “aku, yang suamiku karyawan tetap pabrik aja ndak kuat mikir biaya kuliah. Belum pendaftarannya, buku-bukunya, uang saku, uang kos, spp-nya pokoknya ndak kuat deh. Apalagi Mbok Rampi yang suaminya pengangguran ndak mungkin….kalau orang bilang MUSTAHIL.”

“Ya bisa aja to Tun, tiap malam purnama kan si Darso, suaminya Mbok Rampi, itu dapat duit banyak. Hasil nyeleng alias ngepet.”

“haa…haaa…haaa…”

Gelak tawa mereka membangunkan pagi yang masih asyik berselimut embun. Hari mulai membuka matanya menampakkan semburat merah di ujung timur. Ibu-ibu mulai bekumpul dan semakin ramai mendatangi kios “Ijo Royo-royo” tempat orang-orang kampung berbelanja keperluan memasak.

***


Sabtu, 16 Juni. Mbok Rampi bersama beberapa anggota keluarga dan tetangga bertolak dari kampung menuju kota. Mobil sewaan hasil menjual kambing Pak Darso cukup nyaman ditumpangi. Meski udara menyengat di luar, tetap terasa dingin AC di dalam mobil. Tutik, Atun, dan Jum pun ikut dalam rombongan keluarga Mbok Rampi.

“Si Bagus beneran sudah jadi sarjana Mbok?” tanya Tutik menyelidik.

Alhamdulilah, Dik, Bagus anaknya rajin dan ndak macem-macem jadi bisa lulus tepat waktu,” Mbok Rampi menjelaskan bangga.

“Kuliah tiga tahun setengah bisa jadi sarjana ya mbok? Lha anaknya Haji Romli itu kuliah apa namanya? kalau aku hitung-hitung ada mungkin 6 tahun kuliah. Sampai sekarang masih belum sarjana tuh.” Tutik menyelidik seolah tak percaya dan memang tak pernah percaya anak Mbok Rampi kuliah di kota. Mbok Rampi hanya tersenyum menanggapinya.

Gedung itu penuh sesak, wisudawan dan para orang tua memenuhi gedung yang menjadi saksi anak Mbok Rampi diwisuda. Sementara di luar mobil-mobil berjajar tak beraturan. Para rombongan dan keluarga tak sabar menunggu di tengah terik. Penjual bunga dan souvenir berkeliling mengedarkan dagangannya, para fotografer pun menawarkan jasanya untuk mengabadikan momen yang mungkin hanya sekali seumur hidup itu. Begitu riuh, ramai, dan sesak. Lalu lalang keluarga, kerabat, sahabat mencari di mana gerangan kawanannya berkumpul. Hingga tiba Mbok Rampi, Pak Darso, dan Bagus keluar dengan menggunakan baju toga lengkap dengan topi dan gulungan kertas yang digulung rapi. Senyum Mbok Rampi begitu lebar, matanya terlihat basah bangga sekaligus haru teringat perjuangannya selama ini.

“Halah, Yuk Jum, Tun ini paling ya settingannya Mbok Rampi saja. Ya kan?” Tutik masih tak percaya.

Juminten dan Atun mengiyakan bersama-sama, tetapi matanya tak berkedip melihat apa yang di hadapaannya. Mereka turut bangga ada sarjana di kampung mereka.

No comments:

Post a Comment

Kalimat Inti dan Inti Kalimat                Kalimat inti dan inti kalimat terdengar hampir sama. Namun, tahukah kamu bahwa keduanya memilik...