Kambing-kambing Bapakku
Teguh Setiawan
Ini kisah tentang kambing-kambing bapakku. Kambing yang menyaksikan betapa lelahnya bapakku mencari makan untuk mereka. Kambing yang melihat makanan apa yang kami makan dan bagaimana kami mendapatkannya. Kambing yang menjadi penyebab terjadinya pertengkaran kecil yang berakibat pada pertengkaran besar hingga sulit dinalar. Seperti kejadian yang baru-baru ini terjadi. Seperti biasa, bapakku mengajak kambing-kambingnya yang berjumlah lebih dari sepuluh itu berjalan-jalan ke tanah lapang dengan rumput hijau terhampar. Kemudian bapakku mengikat kambing-kambing itu pada sebuah pathok yang ditanamnya kuat-kuat, agar mereka tidak kabur.
Namanya juga kambing, tanpa seizin bapakku, mereka mbelarah(1) ke rumah tetangga dan mengganyang habis nasi karak (2) yang dijemur di bawah sinar mentari yang sedang hangat-hangatnya di pelataran rumah tetanggaku itu. Tidak pelak jeritan demi jeritan pun menggelegar bak petir yang menyambar di siang bolong. “Ya Allah, wedhuse sopo iki?! Kurang ajiar! Karak sak latar entek resik!” (3) Pemilik karak pun mengumpat, kerena kambing-kambing bapakku yang masih polos dan lugu itu. Tanpa merasa bersalah, kambing-kambing bapakku itu justru langsung pergi begitu saja dengan mulut terus mengunyah karak tetanggaku itu. Mungkin ini yang membuat tetanggaku itu kian naik darah. Awalnya yang hanya umpatan, kini dia mengambil batu kerikil dan melemparkannya kepada kambing-kambing bapakku itu. Tidak berhenti di situ, setelah batu kerikil kurang memuaskan hatinya, ia mengambil batu bata yang cukup besar lalu berlari mengejar kambing-kambing bapakku dan melemparinya dengan batu. Naluriah kambing pun bekerja, mereka berlari zig-zag dan menghindari lemparan batu tetanggaku itu.
Sebagai pemilik kambing yang baik, bapakku mencoba mendekengi (4) kambing-kambing itu dengan memberikan uang sebagai pengganti karak yang dimakan kambing-kambingnya. Namun apalah daya, sang pemilik karak sudah geram hatinya pada kambing-kambing bapakku, sehingga bukan kerelaan yang didapat, melainkan cacian, umpatan, hinaan yang diterima bapakku. Tidak hanya itu, uang yang tadinya akan diberikan sebagai permintaan maaf, dilempar ke wajah bapakku. Alhasil, bapakku marah-marah tidak jelas kepada kambing-kambingnya. Mereka diseret paksa oleh bapakku untuk dikandangkan. Lalu, sabetan demi sabetan mengarah ke tubuh mereka. Mbeeek! Mbeeek! Mbeek! Teriakan kambing-kambing bapakku itu terdengar menyayat hati. Suara mereka parau meminta tolong. Tapi apa mau dikata, memang mereka bersalah dan harus dihukum supaya tidak mereka ulangi di masa yang akan datang. Beruntung, meski bapakku begitu marah kepada mereka, bapakku masih bersedia mencarikan mereka rumput untuk makan sehari-hari. Mungkin itu pula yang membuat kambing-kambing bapakku begitu menyayangi bapakku. Kadang mereka ikhlas dan rela hati, saat anak-anak mereka diambil dan dijual untuk ditukarkan dengan beras atau minyak. Anggap saja itu sebagai balas budi kepada bapakku, karena sudah memberi mereka makan dan tempat tidur.
Aku juga masih ingat, ketika kambing-kambing bapakku itu menjadi penyebab fitnah luar biasa. Memang dasar rakus kambing-kambing bapakku itu, bahkan setelah diberi rumput berkarung-karung tidak pernah mereka merasa puas. Mulut mereka tidak pernah berhenti mengunyah kendati tidak ada makanan di mulutnya. Belakangan bapakku mengerti, bahwa kebiasaan itu karena mereka adalah hewan memamah biak. Saat sawah yang disewa bapakku panen singkong, produksi singkong di rumah membeludak. Sebagian dijual per kilo, sebagian dibuat keripik, opak, atau makanan lain. Hasil olahan itu menyisakan sampah kulit singkong. Tidak mau menyisakan sampah, kulit-kulit itu dimasukkan ke dalam tempat makanan kambing-kambing bapakku. Dan tidak butuh waktu lama bagi kambing-kambing rakus bapakku itu untuk melahap habis limbah kulit singkong yang terus bertambah. Selang kurang dari satu jam, kambing-kambing bapakku itu tiba-tiba tumbang satu demi satu. Perutnya mual, kepalanya pening tujuh keliling, seakan dunia berputar-putar di kepalanya, lalu limbung. Mereka semua lunglai. Kakinya tidak mampu menahan beban tubuhnya sendiri. Segera mereka dipaksa meminum minyak goreng dan air kelapa agar racun dari kulit singkong itu segera keluar dari tubuh mereka. Bahkan dalam kondisi setengah sadar, mereka dipaksa menyaksikan saudara-saudaranya digorok lehernya dengan sadis dan membabi buta. Padahal jelas-jelas mereka adalah kambing, bukan babi. Jadilah malam itu bapakku pesta daging kambing dan membuka pasar daging murah tanpa rencana. Tentu saja para pedagang sate, gule, hinggga penikmat kambing rumahan senang dengan pasar daging kambing murah ini, karena harganya memang jauh di pasaran. Karena bapakku tidak tahu harus menjual ke mana daging kambing sebanyak itu. Sebagian daging kambing bapakku itu dibagikan secara gratis kepada para tetangga yang jarang memakan daging. Namun apalah jadinya jika pesta daging kambing tanpa planning ini dianggap sebagai ritual mencari tumbal pesugihan, sehingga kambing-kambing tanpa dosa difitnah sedemikian rupa. Alhasil, mereka semua yang selamat dari peristiwa keracunan masal itu menyaksikan sendiri daging saudara-saudaranya itu dibuang di sungai dan tempat sampah begitu saja karena takut dijadikan tumbal dan mati mengenaskan seperti saudara kambing-kambing bapakku itu.
“Eh, daging sampean wingi sampean masak, a?”(5)
“Ora, Mbak Yu. Tabuak. Wedhi aku. Engkok beke luruh matek koyo wedhuse iku.”(6)
“Iyo, aku yo tabuak nang kali. Moso gak nok angin gak nok udan moro-moro dum-dum daging. Opo maneh nek gak ndolek tumbal?”(7)
Begitu kira-kira guneman (8) yang didengar kambing-kambing bapakku itu di kandang belakang. Kambing-kambing bapakku merasa bersalah. Karena kerakusannya, mereka keracunan dan kematiannya menjadi fitnah luar biasa yang terus merebak bak virus flu burung yang membuat para burung, ayam, bebek menjadi tersangka atas kematian orang-orang yang memakannya. Padahal jelas, mereka yang menjadi korban dan dibunuh lebih dahulu. Untunglah beberapa kambing bapakku yang selamat tetap setia dengan bapakku. Mereka bersyukur terselamatkan dari keracunan itu dan berjanji membantu bapakku menjadi tunggangan bapakku di akhirat kelak.
catatan kaki
1.Lari
2. Nasi sisa yang dikeringkan di bawah sinar matahari
3. Ya Allah, kambingnya siapa ini? Kurang ajar! Nasi kering sehalaman habis bersih!
4. Back up, melindungi, Bertanggung jawab
5. Eh, daging kamu kemarin kamu masak kah?
6. Tidak, Mbak Yu. Aku buang. Takut aku. Khawatir mati seperti kambingnya itu.
7. Iya, aku juga aku buang ke kali. Masa tidak ada ngin tidak ada hujan tiba-tiba bagi-bagi daging. Apa lagi kalau bukan mencari tumbal?
8. gunjingan
No comments:
Post a Comment