Tuesday, December 20, 2022

Segenggam Doa Mbok Rampi

 Segenggam Doa Mbok Rampi


Teguh Setiawan

Hujan masih belum mau berhenti, bahkan setelah 30 menit Mbok Rampi menunggunya di sebuah pos kamling yang atapnya bocor. Angin yang berembus membuat suhu semakin menusuk tulang tubuhnya yang kurus kering. Hujan pun kian deras dan menakutkan. Atap pos kamling yang terbuat dari seng sesekali tersibak oleh ributnya angin dan membuat suara berisik nan memilukan. “Jangan-jangan akan datang puting beliung dan menerbangkan pos kamling ini beserat isi di dalamnya.” Begitu ia membatin. Mungkin itu akan lebih baik daripada hidup seperti sekarang ini.

Mbok Rampi sendirian di dalam pos kamling itu. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menghitung uang yang ia dapatkan setelah berjualan keliling 15 menit sebelum akhirnya hujan memaksanya berteduh. 2 lembar lima ribuan, 4 lembar dua ribuan, dan 2 keping koin lima ratusan.

“Ya, Allah… mbenjing anak kulo maem nopo?”

Tak terasa air mengalir dari ujung mata tuanya. Hatinya menghujat Tuhan.

Duh Gusti, njenengan niki mboten adil kalih kulo. Njenengan paring yugo kathah, nanging kok nggeh susah!”

Mbok Rampi, perempuan paruh baya dengan tujuh orang anak: empat perempuan dan tiga laki-laku. Dua anak perempuannya yang pertama telah menikah dan diajak suaminya merantau entah ke mana. Sementara anak laki-lakinya yang paling besar hanya lulusan SMP dan bekerja sebagai buruh serabutan. Dua anak laki-lakinya yang lain tengah sekolah di SMA swasta. Sementara satu anak perempuan terakhirnya duduk di bangku SD di dekat rumahnya.

Hatinya gundah, sebab sawah yang disewa suaminya terendam banjir setelah hujan dua hari dua malam seminggu yang lalu padahal hasil sawah sudah diangan-angan untuk bayar uang sekolah yang belum lunas hingga sekarang. Hujan masih menyisakan gerimis kecil-kecil, dikayuhnya sepeda reyot menembus gerimis untuk menjual dagangannya. Untungnya beberapa orang yang merasa iba memanggilnya dan membeli beberapa lento, tahu, dan ote-ote buatannya.

Adem-adem ngene iki enak nggerami, Mbok!”

Enggeh mas, monggo disekacaken.”

Banyak cerita yang ia dapatkan selama berdagang berkeliling kampung, tak hanya berita baik sebagian adalah berita duka, baik itu tentang tetangganya atau pun tentang dirinya sendiri. Termasuk tentang tetangga-tetangganya yang mencibirnya karena beranak banyak dan miskin sehingga tak ada waktu ngobrol (red-nggosip) bareng mereka. Namun, semua itu ia simpan sendiri, ia telan bagai pil pahit yang hanya ia sendiri yang tahu rasanya. Sebab ia sadar betul mencari uang untuk anak-anaknya jauh lebih penting daripada menggubris gosip yang beredar tentangnya. Bahwa berjualan adalah satu-satunya cara yang ia tahu untk menjaga dapurnya tetap mengepul.

Lepas azan maghrib ia baru tiba di rumah. Anak-anaknya tengah menyambutnya dengan perut lapar. Disandarkannya sepeda reyot yang selalu menemaninya itu pada tiang penyangga teras rumahnya. Tanpa dikomando, anak-anaknya membereskan keranjang, ronjot, bungkusan plastik, dan berbagai perabot yang ia cantolkan di sepedanya. Beruntung kalau masih ada sisa gorengan yang masih bisa anak-anaknya nikmati.

Sembari mengambil air wudlu, Mbok Rampi memanaskan air bakal kopi buat suaminya. Setelah melepas mukenahnya segera ia memasak untuk anak-anaknya. Tangan tuanya masih cukup cekatan untuk membuat sambal, bumbu masakan, menggoreng ikan, dan menyiapkan nasi. Bahkan, ia sanggup lakukan itu semua dalam sekali waktu. keadaan memaksanya untuk mengerjakan segala sesuatunya secara cepat dan cekatan. Sembari menonton sinetron kesukaannya tangannya tak berhenti mencetak keupuk singkong (red-opak) yang menjadi andalannya untuk bejualan. Kadang ketika tak ada singkong untuk dibuat opak, ia memutar otak dan beralih pada kacang goreng. Tiap malam ia akan menggoreng kacang yang ia beli di pasar. Sebelumnya, ia memanaskan air untuk dituang di atas kacang yang masih berbalut kulit arinya. Dalam kondisi masih hangat ia mengerahkan anak-anaknya untuk mengupas kulit ari dari kacangnya, barulah setelah itu ia goreng dan ia beri bumbu. Selanjutnya, ia masukkan dalam plastik panjang dan ia rekatkan ujungnya dengan api dari lilin. Maklum saja, Mbok Rampi tak mampu membli alat press yang harganya ratusan ribu itu. Bahkan, kalaupun punya listrik rumahnya barangkali tak akan mampu menahan tinggi dayanya.

Pukul 10 malam, mata tuanya tak sanggup menahan kantuk dan letihnya. Ia merebahkan badannya di depan TV beralaskan tikar tipis dan satu bantal sebagai penyangga kepalanya. Baginya itu cukup untuk meletakkan mimpinya; melihat anak-anaknya tumbuh dan berhasil dalam kehidupannya sebelum ayam tetangga membuyarkan mimpinya sesaat sebelum subuh berkumandang.

“Mbok Rampi Mbok Rampi, semoga Tuhan menggenggam setiap doamu dan segera melepaskannya untuk anak-anakmu.”

No comments:

Post a Comment

Kalimat Inti dan Inti Kalimat                Kalimat inti dan inti kalimat terdengar hampir sama. Namun, tahukah kamu bahwa keduanya memilik...